Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Namun, kualitas pendidikan di Indonesia sampai saat
ini masih belum menggembirakan. Dibutuhkan sebuah pendekatan
pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak serta diperkirakan dapat
meningkatkan motivasi belajar yaitu dengan pendekatan Brain Based
Learning. Pendekatan Brain Based Learning (Jensen, 2008: 12) adalah
pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara
alamiah untuk belajar.
Tahap-tahap perencanaan pembelajaran Brain Based Learning yang
diungkapkan Jensen dalam bukunya yaitu tahap pra-pemaparan, persiapan,
inisiasi dan akuisisi, elaborasi, inkubasi dan memasukkan memori,
verifikasi dan pengecekan keyakinan, dan yang terakhir adalah perayaan
dan integrasi. Sedangkan tiga strategi utama yang dapat dikembangkan
dalam implementasi Brain Based Learning (Sapa’at, 2009) yaitu: (1)
menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa;
(2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3)
menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Brain based learning
Brain based learning adalah sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran
dengan berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak siswa.
Tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning (Jensen, 2008).
Pertama, menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan
berpikir siswa. Dalam setiap kegiatan pembelajaran, sering-seringlah
guru memberikan soal-soal materi pelajaran yang memfasilitasi kemampuan
berpikir siswa dari mulai tahap pengetahuan (knowledge) sampai tahap
evaluasi menurut tahapan berpikir berdasarkan Taxonomy Bloom. Soal-soal
pelajaran dikemas seatraktif dan semenarik mungkin misalnya melalui
teka-teki, simulasi games, tujuannya agar siswa dapat terbiasa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dalam konteks pemberdayaan potensi otak
siswa.
Kedua, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan.
Hindarilah situasi pembelajaran yang membuat siswa merasa tidak nyaman
dan tidak senang terlibat di dalamnya. Lakukan pembelajaran di luar
kelas pada saat-saat tertentu, iringi kegiatan pembelajaran dengan musik
yang didesain secara tepat sesuai kebutuhan di kelas, lakukan kegiatan
pembelajaran dengan diskusi kelompok yang diselingi dengan
permainan-permainan menarik, dan upaya-upaya lainnya yang mengeliminasi
rasa tidak nyaman pada diri siswa. Howard Gardner dalam Buku Quantum
Learningkarya De Porter, Bobbi, & Mike Hernacki menyatakan bahwa
seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa
yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya.
Ketiga, menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna
bagi siswa (active learning). Siswa sebagai pembelajar dirangsang
melalui kegiatan pembelajaran untuk dapat membangun pengetahuan mereka
melalui proses belajar aktif yang mereka lakukan sendiri. Bangun situasi
pembelajaran yang memungkinkan seluruh anggota badan siswa beraktivitas
secara optimal, misal mata siswa digunakan untuk membaca dan mengamati,
tangan siswa bergerak untuk menulis, kaki siswa bergerak untuk
mengikuti permainan dalam pembelajaran, mulut siswa aktif bertanya dan
berdiskusi, dan aktivitas produktif anggota badan lainnya.
Merujuk pada konsep konstruktivisme pendidikan, keberhasilan belajar
siswa ditentukan oleh seberapa mampu mereka membangun pengetahuan dan
pemahaman tentang suatu materi pelajaran berdasarkan pengalaman belajar
yang mereka alami sendiri.
Riset menunjukkan (Given, 2007) bahwa otak mengembangkan lima sistem
pembelajaran primer yaitu emosional, sosial, kognitif, fisik dan
reflektif. Jika guru memahami bagaimana sistem pembelajaran primer
(emosional, sosial, kognitif, fisik, reflektif) berfungsi, maka mengajar
akan lebih efektif dan merasakan kegembiraan lebih besar dalam
mengajar.
Dari uaraian di atas Brain based learning bisa diterapkan dalam
pembelajaran matematika. sistem pembelajaran kognitif memang sangat
berkaitan langsung dalam pembelajaran matematika, walupun begitu bukan
berarti aspek kognitif saja yang harus dikembangkan dalam pembelajaran
matematika, hal ini dikarenakan aspek kognitif tidak akan berkembang
dengan optimal jika dalam pembelajaran tidak melibatkan komponen otak
yang lain.
Sistem Pembelajaran Emosional
Hasil riset (Sorkresno,2007) menunjukkan bahwa efektivitas belajar
sangat ditentukan oleh suasana emosi. Bagian otak yang sangat berperan
dalam mempengaruhi seseorang adalah system limbic, sehingga bagian ini
sering disebut otak emosi.
Agar emosi dapat berperan secara optimal, maka otak emosi membutuhkan
suasana yang cocok dengan konsep pendidikan yaitu proses belajar harus
menyenangkan, memberikan pengalaman yang bermakana dan relevan,
melibatkan aspek multi sensori manusia, memberikan pengalaman unik dan
menantang.
Penelitian mengungkapkan bahwa kognisi dan emosi saling mempengaruhi
walaupun kognisi dan emosi berasal dari otak berbeda (Jensen, 2007:9).
Emosi positf dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan
emosi negative akan menghabat prestsi akademis. Tetappi emosi negatif
berkembang untuk mengaktifkan system perhatian/pemecahan masalah otak
sehingga system tersebut bias merespon tantangan berbahaya (Given,
2007:79).
Sistem pembelajaran emosional otak menentukan individualitas seseorang.Guru harus menciptakan suasana kelas yang kondusif bagi keamanan
emosional dan hubungan pribadi agar siswa belajar secara efektif. Guru
yang memupuk emosional berfungs sebagai mentor dan membantu siswa
menemukan hasrat untuk belajar, dengan membimbing mereka mewujudakan
target pribadi yang masuk akal, dan mendukung siswa dalam upaya untuk
mencapai yang ditargetkan.
Pada umumnya siswa menganggap matematika menakutkan dan sulit sehingga
membuat stress dan jenuh, maka diperlukan pembelajaran matemetika yang
menyenangkan. Hal ini sejalan dengan sistem pembelajran emosional pada
model Brain Based Learning. Menurut Given (2007:80) dengan pembelajaran
yang menyenangkan akan membuat koneksi atau hubungan antara belahan otak
kanan dan kiri menjadi lebih cepat, sehingga lebih membuat siswa dapat
dapat berfikir tentang pemecahan masalah matematika.
Sistem Pembelajaran Sosial
Sistem pembelajaran sosial adalah hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok,
untuk dihormati, dan untuk menikmati perhatian dari orang lain. Jika
sitem emosional bersifat pribadi, berpusat pada diri dan internal, makka
sistem sosial berfokus pada interaksi dengan orang lain atau pengalaman
interpersonal.
Kebutuhan sosial siswa memaksa pendidik untuk mengelola sekolah menjadi
komunitas pelajar, tempat guru dan siswa bisa bekerja sama dalam tugas
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata. Didalam
komunitas pelajar guru dan siswa saling berhubungan sebagai keluarga dan
siswa menerima penghaargaan dan perhatian untuk kelebihan mereka.
Dengan berfokus pada kelebihan siswa dalam konteks kelas memaksimalkan
perkembangan sosial melaluai kerja sama antar individu, perbedaan
diantara siswa justru menciptakan petualangan yang kreatif dalam
pemecahan masalah.
Sehubungan hal di atas, hubungan pembelajaran matematika dengan sistem
pembelajaran sosial, jika siswa mengikuti pembelajaran matematika dengan
hasrat besar dan dipenuhi dengan rasa keingintahuan, tetapi gagal dalam
bersosialisasi dikelas maka proses pembelajaran yang dilalui akan
menjadi tugas-tugas sulit yang harus dihindari. Karena pada dasarnya
manusia memiliki kecendrungan untuk berkelompok dan bekerjasama. Dengan
bekerjasama siswa dapat menemukan beberapa alternatif dugaan jawaban,
dan mendiskusikan untuk menentukan jawaban yang benar. Untuk itu dalam
proses pembelajaran matematika siswa di kelompokan untuk mendiskusikan
konsep atau soal pemecahan matemaatika, sehingga atara siswa dengan
siswa, siswa dengan guru bisa saling berinteraksi bertukar pendapat
untuk mendiskusikan soal pemecahan matematik.
Sistem Pembelajaran Kognitiif
Sistem pembelajaran kognitif adalah sistem pemrosesan informasi pada
otak. Sistem ini menyerap input dari luar dan semua sistem yang lain,
menginterpretsikan input tersebut, serta memandu pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Karena terkait langsung dengan pembelajaran
akademis, sistem ini sangat diperhatikan oleh pendidik.
Pembelajaran matematika yang melibatkan pemecahan masalah adalah
aktivitas yang paling baik untuk perkembangan otak karena meningkatkan
konektivitas antar neuron, jumlah sel saraf, dan masa otak secara
keseluruhan. Masalah-masalah yang akan di pecahkan harus baru,
menantang, tidak mengancam, dan merangsang emosi.
Sistem Pembelajaran Fisik
Sistem pembelajaran fisik otak mengubah hasrat, visi, dan niat menjadi
tindakan, karena sistem operasi ini didorong untuk melakukan sesuatu.
Riset (Given, 2007:251) menunjukkan bahwa tubuh memiliki pengruh sangat
spesifik terhadap mekanisme pikiran, karenanya dalam berbagai cara tubuh
memiliki memiliki pikirannya sendiri. Sistem pembelajaran fisik
otakmelibatkan proses interaksi dengan lingkungan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan baru, atau mengungkapkan beragam emosi atau
konsep.
Efektivitas belajar sangat dipengaruhui oleh pembelajaran fisik, karena
gerak badan dan rangsangan mental adalah cara terbaik untuk menjaga agar
otak selalu siap untuk belajar. Gerak badan dan rangsangan mental
menaikan kadar amino dan memperbaikai daya ingat serta perhatian.
Hubungannya dengan pembelajaran matematika, bahwa kosep matematika akan
lebih bermakna jika siswa berperan aktif dalam menemukan konsep
tersebut. Konsep tersebut tidak diberikan langsung oleh guru, melinkan
melalui sejumlah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa. Hal
ini sejalan dengan sistem pembelajaran kognitif pada model Brain Based
Learning,misalnya untuk menerangkan jarak yang melibatkan titik, garis
dan bidang pada bangun ruang, dalam pembelajaran siswa di bawa keluar
kelas untuk membuat sketsa gambar benda ruang di sekitar yang menujukan
jarak titik, garis dan bidang pada bangun ruang. Keterlibatan siswa
secara aktif sejalan dengan sistem pembelajaran fisik pada model Brain
Based Learning.
Sistem Pembelajaran Reflektif
Pemebelajaran reflektif merupakan merupakan sistem yang memantau dan
mengatur aktivitas semua sistem otak yang lainnya. Pembelajaran
reflektif berurusan dengan fungsi eksekutif otak dan tubuh, seperti
pemikiran tingkat tingggi dan pemecahan masalah. Sistem pembelajaran
reflektif menuntut siswa untuk memahami diri sendiri dan ini bia
dikembangakan melalui uji-coba dengan berbagai cara pembelajaran.
Setelah siswa berperan aktif dalam menemukan konsep matematika, siswa
juga perlu meninjau kembali kesahihan konsep yang diperolehnya,
kemampuan untuk menilai kembali dan mencari solusi jika terdapat
kesalahan. Selain itu juga dalam proses pembelajaran matematika, perlu
adanya introveksi selama proses pembelajaran berlangsung. Artinya siswa
bisa belajar untuk bertanya pada diri sendiri, ”Apakah aku belajar lebih
baik dengan mendengarkan ketimbang membaca, atau apakah Aku bisa
memecahkan masalah matematika sesuai konsep, atau apakah Aku belajar
lebih baik ketika kerja kelompok ketimbang bekerja sendiran. Kemampuan
ini merupakan tugas dari pembelajaran reflektif pada model Brain Based
Learning, yaitu di setiap akhir pembelajaran guru memberikan soal
evaluasi, selain itu juga guru mengarahkan agar siswa berintroveksi
apakah hasil tujuan pembelajaran yang sudah ditargetkan sudah terpenuhi
atau belum.
Pendekatan Brain Based Learning
Brain Based Learning (Jensen, 2008: 12) adalah pembelajaran yang
diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk
belajar. Sejalan dengan hal tersebut, Sapa’at (2009) juga mengungkapkan
bahwa Brain Based Learning menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan
pembelajaran yang berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak
siswa.
Dalam menerapkan pendekatan Brain Based Learning, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada proses
pembelajaran, yaitu lingkungan, gerakan dan olahraga, musik, permainan,
peta pikiran (mind map), dan penampilan guru.
Tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain Based Learning yang diungkapkan Jensen dalam bukunya yaitu:
- Pra-Pemaparan : Pra-pemaparan membantu otak membangun peta konseptual yang lebih baik (Jensen, 2008: 484).
- Persiapan : Dalam tahap ini, guru menciptakan keingintahuan dan kesenangan (Jensen, 2008: 486).
- Inisiasi dan akuisisi : Tahap ini merupakan tahap penciptaan koneksi
atau pada saat neuron-neuron itu saling “berkomunikasi” satu sama lain
(Jensen, 2008: 53).
- Elaborasi : Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk
menyortir, menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam
pembelajaran (Jensen, 2008: 58).
- Inkubasi dan memasukkan memori : Tahap ini menekankan bahwa waktu
istirahat dan waktu untuk mengulang kembali merupakan suatu hal yang
penting (Jensen, 2008: 488).
- Verifikasi dan pengecekan keyakinan : Dalam tahap ini, guru mengecek
apakah siswa sudah paham dengan materi yang telah dipelajari atau
belum. Siswa juga perlu tahu apakah dirinya sudah memahami materi atau
belum.
- Perayaan dan integrasi : Tahap ini menanamkan semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar (Jensen, 2008: 490).
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi
Brain Based Learning (Sapa’at, 2009) yaitu: (1) menciptakan lingkungan
belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan
lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi
pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Brain Based Learning (BBL).
Teori atau landasan filosofis yang mendukung model BBL, diantaranya
yaitu aliran psikologi tingkah laku (behaviorisme) dan pendekatan
pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme.
Aliran Psikologi Tingkah Laku (Behaviorisme)
Tokoh-tokoh aliran psikologi tingkah laku diantaranya adalah David
Ausubel, Edward L. Thorndike dan Jean Piaget. Teori Ausubel (Ruseffendi,
1988: 172) terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Teori Thorndike (Hudoyo, 1988: 12) diantaranya
mengungkapkanthe law of exercise (hukum latihan) yang dasarnya
menunjukkan bahwa hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat
manakala terus-menerus dilatih dan diulang, sebaliknya hubungan stimulus
respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Jadi semakin
sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai pelajaran
itu. Sedangkan teori Piaget (Ruseffendi, 1988: 132-133) mengungkapkan:
- Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
- Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi
mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis,
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
- Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkakan oleh keseimbangan yang
menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul.
Aliran Konstruktivisme
Pendekatan paham konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar matematika
adalah proses pemecahan masalah. Ruseffendi (1988: 241) menyatakan bahwa
pemecahan masalah itu lebih mengutamakan kepada proses daripada kepada
hasilnya (output). Guru bukan hanya sebagai pemberi jawaban akhir atas
pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk
(mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur
matematika.
DAFTAR PUSTAKA
- Badudu, J. S., & Zain, S. M. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan
Masalah Matematik Melalui Pendekatan Open Ended. Tesis Pascasarjana UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
- Hernowo. (2008). Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Menyenangkan. Bandung: MLC.
- Hernowo. (2008). Menulis Feature di Dunia Venus. [Online].
https://internalmedia.wordpress.com/2008/02/19/menulis-feature-di-dunia-venus/.
[1 Desember 2010].
- Hidayati, A. (2005). Penerapan Model Pembelajaran Generatif
Matematika dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Skripsi pada
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
- Jensen, E. (2008). Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Lestari, P. (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi
Matematis Siswa SMK Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Tesis
Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
- Makmun, A. S. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Mariana, T. (2008). Implementasi Pembelajaran Matematika dengan
Menggunakan Strategi Working Backward untuk Meningkatkan Kemampuan
Koneksi Matematika. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA
UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
- Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa
Sekolah Menengah Atas. Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
- Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan
Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas
Melalui Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi Pascasarjana UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
- Sapa’at, A. (2009). Brain Based Learning. [Online]. Tersedia:
http://matematika.upi.edu/index.php/brain-based-learning/. [6 Juli
2010].
- Sukmawati, E. (2009). Pengaruh Pembelajaran ‘KUASAI’ Terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Skripsi pada Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
- Uno, H. B. (2009). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Ak
sumber